Alumni Madrasah ini meraih beasiswa di Harvard University

Kuliah di salah satu universitas terbaik di dunia bukan lagi sebuah mimpi. Melalui doa yang dipanjatkan pojok Masjid Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, Waskito Jati kini mewujudkan mimpinya. Ia diterima di program Master of Theological Studies (MTS) di Harvard Divinity School dengan jurusan Islamic Studies. Alumnus MA Ali Maksum Krapyak, Bantul ini mampu menumbangkan stigma negatif yang sejauh ini masih dipercaya sebagian masyarakat.

Tujuh tahun yang lalu, setelah membaca doa witir di pojok Masjid al-Munawwir di Pondok Pesantren Krapyak. Ia meminta kepada Allah agar saya diberikan kesempatan untuk berkuliah di universitas terbaik di dunia. Mengingatnya hanya lulus SD dan ayahnya hanya lulus SMP. Awalnya, ia berpikir doa tersebut agak berlebihan. Walaupun begitu, keinginan yang kuat tersebut tidak membuat Waskito berhenti berusaha. Man jadda wa jada. Ungkapan tersebut yang sering diucapkan Kyainya untuk menyemangatinya mencapai mimpi: Belajar di Universitas Terbaik di Dunia.

Baginya, belajar di MA Ali Maksum memberikan kontribusi signifikan bagi keberhasilannya. Kualitas yang dicari oleh semua universitas di luar negeri adalah kemampuan bahasa asing. Dari awal, Waskito menyadari betul bahwa bahasa Inggris menjadi syarat utama. Waskito sangat bersyukur bisa belajar di MA Ali Maksum. Di MA Ali Maksum, ia bergabung mengikuti pelatihan debat bahasa Inggris, yang dibimbing oleh Ali al-Hussein. Pak Ali melatih Waskito dan tim setiap hari, ba’da Isya’ dan seusai mengaji sorogan hingga tengah malam tanpa diberikan bayaran tambahan sama sekali.

Hasil latihan yang rutin dan cukup keras tersebut mengantarkan Waskito dan timnya menjadi juara satu pada suatu lomba debat Bahasa Inggris se-DIY di tahun 2008, mengalahkan banyak SMA favorit lainnya di Yogyakarta. Modal bahasa sudah Waskito miliki sejak di Aliyah. Dengan berbekal bahasa tersebut, Waskito berhasil mengikuti program pertukaran pelajar, ketika masih di Aliyah.

Sepulang dari program pertukaran pelajar, ia mulai berpikir untuk kuliah S1. Ia tidak punya banyak pilihan. Ayahnya baru saja meninggal dunia dua tahun sebelumnya. Sedangkan biaya kuliah tidaklah murah. Ia mencoba daftar beasiswa santri PBSB dan beasiswa dari Universitas Paramadina. Sayang, semuanya gagal. Ia juga mendaftar dan sudah diterima di Fakultas Hukum UII dan bermaksud untuk mendaftar beasiswa pesantren yang disediakan oleh UII. Namun ia harus melakukan registrasi dahulu dan membayar Rp 8 juta sebelum bisa mengikuti seleksinya. Uang segitu tidak ia miliki. Lagi-lagi, urung kuliah.

Akhirnya, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta adalah pilihan yang tepat baginya. Biaya kuliahnya terjangkau. Ia mengambil jurusan Jinayah Siyasah di fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga. Meski awalnya sedikit kecewa, namun ia masih yakin bahwa Tuhan memiliki rencana yang lebih baik. Ia jalani kuliah dengan serius. Duduk selalu di depan dosen, aktif dalam riset dan organisasi, dan melestarikan Indeks Prestasi selalu di atas 3,8.

Beruntung sekali ia belajar di UIN Sunan Kalijaga. Ia mendapatkan seorang pembimbing riset dan akademik handal. Beliau adalah Prof. Noorhaidi Hasan. Waskito pernah melakukan riset di bawah bimbingannya tentang hukum perang dalam Islam dan jihad dibandingkan dengan Hukum Humaniter Internasional.

Hasil dari riset tersebut akan dia gunakan untuk menganalisa keabsahan strategi perang ISIS serta untuk memberikan counter argument terhadap tuduhan yang diarahkan kepada Islam berkaitan dengan terorisme dengan menunjukkan kesamaan prinsip antara Islam dengan peraturan PBB. Dalam riset tersebut, ia ingin mengembangkan lagi hingga pada diskursus peraturan perang dalam Islam.

Selain berkuliah di Jinayah Siyasah, Waskito juga aktif dalam organisasi di luar kampus. Selama tahun 2010-2014, ia menjadi volunteer pada Bina Antarbudaya, sebuah organisasi pernah mengirim dia dalam program pertukaran pelajar ke Amerika. Awalnya jadi volunteer biasa. Namun akhirnya, dia diangkat menjadi Vice President untuk chapter Yogyakarta. Dia sudah terbiasa rapat berkali-kali setiap minggu dan mengurus banyak agenda organisasi. Ia menjadi Presiden dari asosiasi alumni program pertukaan pelajar yang bernama IYAA.

Selama memimpin organisasi ini, dia membuat proyek yang berskala nasional seperti pengumpulan buku di 15 kota di Indonesia, donor darah massal, hingga hari mengajar nasional. Bersama dengan organisasi ini, Waskito seringkali diundang untuk mengikuti training dan rapat di luar negeri mulai dari Filipina, hingga Yordania dan Ghana.

Waskito lulus S1 di UIN Sunan Kalijaga dengan Indeks Prestasi Kumulatif Tertinggi, meskipun tidak yang tercepat. Setelah lulus ia langsung mendapatkan perkerjaan di kantor Australian National University di Yogya selama beberapa bulan. Waktu itu, ia sudah mulai berpikir untuk mendaftar beasiswa S2. Tentu, persiapan untuk mencari beasiswa S2 membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Alhamdulillah, Waskito berkesempatan mengikuti test IELTS dan meraih nilai Band 7.5. Berbekal IELTS tersebut, ia mencoba mendaftar beasiswa LPDP (LPDP adalah Lembaga Pengelola Dana Pendidikan). Lagi-lagi, dewi fortuna tidak berpihak kepada Waskito. Ia agak sedikit kecewa dan down.

Namun, tekadnya bangkit lagi. Model band IELTS 7.5 membuat dia semakin yakin untuk mencari beasiswa S2 di luar negeri. Ia mencoba mendaftar diri ke universitas-universitas besar, seperi University of Chicago dan Harvard University. Mendaftar di kampus Amerika memiliki syarat yang lebih ketat dibandingkan dengan kampus selain Amerika. Selain IELTS, yang dipesyaratkan lagi adalah test GRE (Graduate Record Examination). GRE sepuluh kali lebih sulit ketimbang IELTS. Waskito belajar sendiri tentang GRE. Sebab biaya les GRE sangat mahal dan gajinya sebagai guru les Bahasa Inggris tidaklah cukup untuk membayar.

Belajar GRE ini adalah pengalaman belajar yang paling ekstrem yang pernah ia lakukan. Karena level kesulitannya, selama persiapan lima bulan, ia harus menghafalkan sekitar 25 kosakata Bahasa Inggris setiap hari. 25 kosakata tersebut masuk kategori kosakata yang sulit dan tidak biasa. Tiap hari, ia juga harus menulis dua esai. Di akhir persiapan belajar tersebut, dia telah menghafalkan kira-kira 1.800 kosakata dan menulis kurang lebih 80 esai.

Berangkatlah ia ke Surabaya untuk mengikuti tes GRE. Hasilnya cukup memuaskan, walaupun nilai writing masih di bawah standar rata-rata Universitas Chicago dan Harvard. Namun ia beranikan diri untuk mendaftar ke kedua universitas unggulan di Amerika itu: Chicago dan Harvard.

Usahanya tidak sia-sia. Awal Maret 2016, dia mendapatkan email, bahwa ia diterima di University of Chicago dan juga ditawarkan beasiswa yang akan menutupi 50% dari biaya pendidikan. Ia sangat bahagia medapatkan kabar ini. Satu minggu kemudian, ada email masuk dari Harvard University. Dalam hati, ia berfikir, “Apapun yang terjadi, kamu telah melakukan yang terbaik”, dan email itu pun ia buka. Alangkah terkejutnya ia membaca kata “Congratulation!” di awal surat tersebut, yang memberikan selamat kepada Waskito yang telah diterima di Harvard University.

Harvard University juga membebaskan dari biaya kuliah dan memberi sedikit uang saku. Awalnya dia sungguh tidak percaya bahwa Harvard benar-benar ingin agar dia bergabung dengan institusi mereka. Dalam email itu juga dilampirkan sebuah link video yang berisi pesan selamat atas diterimanya Waskito di Harvard University. Barulah disana dia sadar bahwa ini semua adalah kenyataan.



Sumber : http://yogyakarta.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=349945]

Komentar